KSR pekalongan. Kesiagaan PMI |
Suatu
hari pada suatu masa, saya mendapatkan diri saya mendadak terbangun dari tidur
yang sangat panjang. Rasanya seperti baru saja di goncang oleh gempa berkekuatan
ribuan skala. Suatu hari pada suatu masa itulah dimana saya akhirnya ‘berkenalan’
dengan PMI. Kami berdua resmi menjadi satu pada kala itu.
Harus
saya akui, bahwa PMI telah mengibarkan namanya berkali-kali dalam hidup saya. Beragam
momen tumpang tindih yang berkaitan dengan PMI. Namun sebagai seorang anak
remaja yang belum ‘melek’ guna PMI, saya menafikannya. Kehidupan saya yang
damai sentausa, membuat saya tak merasakan membutuhkan PMI secara Artificial.
Segala
kesombongan saya berakhir di suatu hari.
Harus
saya kisahkan lebih dulu, titik balik saya bersama PMI mengalami metamorfosa
yang cukup lama. Dengan cerita yang beragam, berkali-kali dan perlahan-lahan.
Saya mengumpulkan setiap remikan kisah tersebut hingga sebuah kisah mahadahsyat
lantas menggenapi mozaik dari puzzle cerita saya akan PMI. Saat itulah saya
terbangun. PMI telah menyuarakan dirinya dengan utuh di hati saya.
Saya
adalah seorang perempuan yang sangat gemar berpetualang. Apa saja saya lakukan
demi meladeni hasrat tualang saya. Naik gunung, panjat tebing, rafting, diving,
dan begitu banyak kegiatan alam lainnya yang kerap kali saya ikuti. Sampai
suatu hari, di kalimati Semeru saya mengalami kram kaki akut. Hal lumrah
terjadi bagi pendaki yang kurang mawas diri pada pentingnya pemanasan sebelum
mulai ‘manjat’. Tapi kali ini, ketika saya membuka kaki, dua orang teman saya
berteriak dan saya melongo sendiri. Telapak kaki kiri saya hitam legam. Saya
melihat kontras warna kulit kaki saya dari mata kaki keatas dan mata kaki
kebawah bagaikan tiang listrik. Hitam dan putih. Kebal dan baal. Saya bahkan
tak merasakan apapun di telapakan tersebut. beragam lintasan pikiran negatif
muncul satu-satu. Termasuk diantaranya kerasukan dan terkena setan gunung. Tapi
seorang mentor pendakian kali itu dengan tenang mengambil peniti dari dalam
kantong belacunya, lantas menusukkan peniti tersebut dengan segera ke setiap
punggung jari kaki saya. Perlahan-lahan darah keluar. Dan denyutan mendadak
datang. Saya berteriak kesakitan. Kebal dan baal di kaki berubah menjadi
kesemutan akut. Kalimati boleh jadi merekam tangisan saya kala itu.
Jefry
Pangihutan Hasibuan, adalah nama mentor pendakian saya kala itu. Dia dengan
telaten mengurus kaki saya tanpa protes dan mengomel sedikitpun. Selang dua jam
kemudian saya sudah bisa dengan lincah melanjutkan kembali pendakian. Satu hal
yang saya tau, Kalimat Kajep ( Kak Jefry )mengkonfirmasi sesuatu, “ Aku belajar
P3K tadi di PMI. Waktu ada workshop relawan. Kapan-kapan kamu harus ikut
belajar. “Satu kisah mulai menampakkan
taringnya.
Gempa
Jogjakarta di bulan Mei 2006 menjadi salah satu ragam kisah saya dan PMI. Saat
menjadi relawan Gempa Jogja tersebut, Tenda saya yang saat itu ada di bawah
naungan UPL( Unit Pencinta Lingkungan ) bersebelahan persis dengan tenda PMI.
Saya takzim dengan segala kegesitan tim PMI dalam menangani korban gempa. Namun
satu cerita kembali menyolek saya dengan perlahan.
Seorang
anak kecil berlari tergopoh ke tenda di hadapan saya( tidak bisa saya sebutkan
tenda siapa karna berkaitan dnegan salah satu organisasi besar ), entah apa
yang anak itu katakan hingga salah satu relawan dari tenda tersebut keluar dan menghampiri
kami. “ UPL ada yang bisa di kirim ke kasongan? Bawa nenek anak itu kesini. Dia
kena asma” Saya yang saat itu sedang menyantap popmie mendongak dan celingukan.
Di tenda hanya tinggal sata dan 2 orang teman yang sedang tertidur. Kami bahkan
baru kembali dari Imogiri untuk membantu beberapa korban disana. Sementara saya
tau, di tenda depan itu banyak relawan yang masih bebas tugas karena belum
mendapat komando langsung dari koordinatornya. “ kami baru saja kembali kak. Di
***** bukannya banyak orang yah kak?” Ketika saya menjawab permintaannya
sungguh tak ada maksud apapun dalam benak untuk menolak permintaan anak
tersebut menolong neneknya. Tapi entah bagaimana, anak tersebut lantas menangis
dan meraung. Seorang perempuan berhijab keluar dari tenda PMI, memeluk anak itu
dan menanyakan perihal tangisannya. Lantas dengan segera masuk kedalam tenda
dan dalam hitungan detik keluar lagi bersama ketiga temannya membawa drakbar.
Saya melongo, malu dan diam. Sekali lagi PMI menyatakan tempatnya di hati
kemanusiaan pada saya secara tunai.
Tragedi
ketiga terjadi di Jakarta tahun 2012. Saat itu saya sudah bekerja menjadi salah
satu staff di Dekopin ( departemen koperasi indonesia ). Sekitar jam 17.30 saya
dan dua orang teman terhenti di lampu merah pancoran. Kebetulan mobil kami
berada di deretan terdepan antrian kendaraan. Datang dari arah gatot subroto,
sebuah metromini dengan kecepatan penuh dan di depan mata saya ia menabrak
sebuah motor matic yang dikendarai perempuan muda. Motor itu terpelanting ke
bahu kolong fly over dan si perempuan pengendaranya terseret motornya sendiri. Teman
saya instingtif keluar dari mobil dan berteriak-teriak. Saya menyusulnya
berlari di tengah kerumunan ramai pancoran. Dua orang polisi langsung menyeruak
diantara kerumunan massa. Teman saya yang mengendarai mobil meneriakkan
klaksonnya berkali-kali tanda mita ruang untuk lewat. Perempuan itu bermandi
darah. Entah bagaimana asalnya mendadak tubuh saya pun ikut mandi darah.
Ternyata tanpa sadar saya telah meraup perempuan itu dalam pelukan saya. Polisi
meminta saya minggir karna akan dibuatkan garis polisi, tapi entah karena apa
saya mendadak jadi sekuat Rambo. Berbekal ketakutan akan kejadian terburuk, saya
dan satu orang teman akhirnya membawa perempuan itu kedalam mobil kami dan
pergi menjauh dari kerumunan. Didalam mobil, teman saya mengucapkan kata-kata
yang lantas menampar saya “ Kita bawa ke PMI terdekat. Ke rumah sakit kondisi
kayak gini bakalan lama.”
Saya
melihat dengan mata dan kepala saya sendiri bagaimana PMI dengan cekatan
melakukan tindakan penyelamatan pertama. Dengan rakus para dokter dan relawan
di sana begitu haus akan menolong korban kecelakaan itu bahkan tanpa perlu tau
identitasnya terlebih dahulu. “ tolong dulu aja. “ begitu saya dengar salah
satu dokter di PMI memutuskan.
Hari
itu juga saya melihat dengan nyata, tindakan yang selama ini telah saya alami
mendadak terputar sedemikian acak di ingatan saya. Kejadian kalimati, gempa jogja,
Kasus kecelakaan ini, juga beberapa kejadian kecil lainnya seperti saat saya
melahirkan anak dan butuh pasokan darah, atau saat kejadian banjir jakarta.
Saya secara afirmasi telah sepakat dengan PMI. Mendadak tanpa perlu saling
berkata-kata saya menjadi bagian abstrak dari PMI.
Sejak
saat itu hingga hari ini, saya mencintai PMI mati-matian. Saya mengagumi PMI
dengan hati yang penuh dan utuh. Sebagai bentuk dari terimakasih saya akan
kejadian demi kejadian yang terkumpul di hari-hari saya. Tulisan ini saya
persembahkan.
facebook : Amoy AiRior
Twitter : ami_airin
email : ami.airin@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar